Copenhagen - Konferensi puncak perubahan iklim di Copenhagen Denmark memasuki minggu kedua. Perundingan terus berjalan alot. Bahkan, di antara sesama negara berkembang. Fokus perdebatan masih dan akan selalu terpusat pada besaran komitmen pengurangan gas emisi masing-masing pihak. Dari negara industri maju hingga negara-negara the emerging economies maupun negara berkembang lainnya.

Isu perubahan iklim adalah tantangan paling berat yang harus segera ditangani secara global melalui pendekatan yang terintegrasi. Masalah tersebut sudah menjadi harsh reality sehingga perundingan post-2012 climate aggrement tahun ini di Copenhagen perlu segera menelorkan hasil kongkrit. Laporan yang dirilis PBB telah menyebutkan adanya kebutuhan untuk segera membatasi kenaikan temperatur global pada 2 derajat celcius.

Berbagai pihak pun seperti Uni Eropa telah menegaskan kembali keinginannnya untuk memotong kadar emisi sebesar 30 persen pada tahun 2020. Indonesia sendiri berjanji melakukan pemotongan emisi karbon sebanyak 26% pada tahun 2020. Langkah itu harus diikuti dengan komitmen yang sama oleh negara-negara industri maju serta negara-negara berkembang yang pertumbuhan ekonominya semakin meningkat dan menjadi bagian dari emiter terbesar dunia (the emerging economies).

Gentingnya persoalan ini tercermin dari dampak masif perubahan iklim yang ditimbukan dan implikasinya telah terasa hampir di seluruh belahan bumi yang ditimpa bencana alam akibat pergeseran iklim tersebut. Vulnerability kerusakan alam, baik di daratan kontinental maupun negara-negara kepulauan kecil dan besar akibat perubahan iklim menandai perlunya segera meningkatkan kerja sama internasional untuk menangani isu tersebut secara lebih serius.

Pertemuan yang kini berlangsung di Copenhagen memiliki arti darurat (emergency call) yang mendesak masyarakat dunia untuk segera menuntaskan perundingan guna menentukan masa depan post-2012 regime. Copenhagen adalah kesempatan terbaik untuk menangani proses perubahan iklim dengan suatu perumusan agenda komprehensif menuju masa depan post-2012 regime.

Seruan paling ambisius yang terus didesakkan adalah suara yang meminta tindakan urgent, praktis, dan sistematis dalam pengurangan emisi skala besar sepanjang kurun waktu 10-15 tahun mendatang. Pengurangan itu harus dilakukan oleh negara-negara emiters terbesar. Termasuk dari negara berkembang atau the emerging economies berdasarkan bantuan negara-negara maju.

Dalam konteks ini pula mereka menghendaki stabilisasi konsentrasi GHGs di bawah level 450 ppm dengan membatasi kenaikan temperatur tidak kurang dari 2 derajat celcius. Oleh karena itu pilihan untuk lebih bertumpu pada pengembangan dan peningkatan peranan renewable energy, energy efficiency, teknologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta tindakan nyata dan pembiayaan untuk keperluan adaptasi akan menjadi opsi paling populer sepanjang pertemuan yang menurut jadwal berakhir pada pertengahan bulan ini.

Dalam proses identifikasi tingkat pengurangan emisi sikap sejumlah negara terbagi dalam beberapa pengelompokan dan aliansi kepentingan. Terdapat kelompok negara yang umumnya mengklaim bahwa kiranya perlu dilakukan pertimbangan mendalam terhadap penentuan indicative range pengurangan emisi. Termasuk yang menjadi kontribusi negara-negara Pihak Annex 1.

Ada pula kelompok yang menghendaki agar emisi greenhouse gases (GHGs) global dikurangi sampai 50% pada tahun 2050 untuk dapat menjamin peningkatan temperatur rata-rata tidak lebih dari 2%. Bahkan, beberapa proponen dari kelompok negara berkembang mengingatkan adanya keunikan negara-negara seperti LDCs, SiDs, maupun negara-negara kawasan Afrika sebagai kelompok yang paling rentan terhadap setiap perubahan iklim yang terjadi.

Bagi banyak negara berkembang masyarakat internasional harus dapat menerima kecenderungan ditekankannya kewajiban negara-negara Pihak Annex 1 untuk leading dalam implementasi konvensi dan protokol serta membuka ruang yang lebih besar bagi negara Non-Annex untuk dapat bersama menangani isu climate change secara substantif, praktis, dan fleksibel. Oleh karena itu sudah saatnya negara-negara peserta konferensi di Copenhagen dituntut untuk menyepakati urgency dan skala usaha-usaha mitigasi yang diperlukan serta membuktikan jika sesungguhnya mitigasi tersebut secara ekonomi dan teknis dapat dilakukan.

Bagaimana pun upaya-upaya mitigasi dan adaptasi harus terus diperkuat dengan memperhatikan kondisi yang dihadapi negara-negara kecil maupun negara yang secara potensial akan mengalami dampak lingkungan paling berat akibat efek negatif perubahan iklim tersebut.

Menarik bahwa negara-negara yang mengelompokkan dirinya sebagai Alliance of Small Island States (AoSIS) menawarkan skenario proyeksi konsentrasi GHGs antara 445-490 part per million (ppm) serta perubahan terhadap penanganan temperatur global di atas level negara-negara pra-industri antara 2-2.4 derajat celcius. Bahkan, menurut mereka upaya membatasi dampak perubahan iklim seharusnya menjadikan negara-negara kepulauan kecil sebagai benchmark menuju persetujuan post-2012 regime.

Cukup banyak pihak yang menghendaki agar negara-negara Pihak Annex 1 mempertimbangkan dampak kegiatan-kegiatan mitigasi mereka terhadap negara-negara berkembang. Pandangan itu didasarkan pada kebutuhan agar dilakukan upaya lebih lanjut untuk mempelajari dampak dari yang disebut response measures tersebut. Dalam hal ini unsur yang harus lebih difokuskan sebenarnya adalah upaya mengembangkan kuantifikasi batas emisi dan target pengurangan emisi bagi negara-negara Pihak Annex 1 pasca periode 2012.

Mungkinkah tuntuntan itu berhasil diwujudkan. Kita tunggu hasil akhir dari konferensi puncak perubahan iklim di Copenhagen minggu-minggu ini.

Muhammad Takdir

Posted by deKa i djakarta Sunday, December 13, 2009

0 comments

Post a Comment